Tragis jika Indonesia kini dihadapkan dengan banyaknya pejabat yang hidup bermewah-mewahan atau bahkan tak malu mencari sampingan dari korupsi. Dulu di zaman perjuangan, banyak sosok-sosok pejuang dan pejabat yang tidak pernah memikirkan materi untuk pribadi.
Sederet pejabat justru berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa. Salah satunya KH Saifuddin Zuhri yang dikenal sebagai pejuang, pemuka agama sekaligus pendidik terkemuka.
Sejak kecil Saifuddin telah diajarkan hidup bersahaja dalam kesederhanaan. Bagaimana tidak, ibunya hanya seorang perajin batik sedang bapaknya seorang petani. Padahal kedua orang tuanya, Muhammad Zuhri dan Siti Saudatun, adalah anak dari pemuka agama yang terkenal di Banyumas, Jawa Tengah.
Latar belakang kedua orang tuanya juga membuat Saifuddin banyak menerima ilmu agama. Sejak kecil dirinya sudah disuapi pendidikan agama hingga besar. Hingga kemudian di umurnya yang ke-17 tahun, Saifuddin meninggalkan Banyumas dan hijrah ke Solo.
Di Solo dirinya sempat berpindah-pindah sekolah karena mulai aktif di dunia jurnalistik. Dari pengalamannya menulis ini, berbagai artikel, berita dan buku sudah dia terbitkan. Bukan hanya aktif menulis, pemuda dari Gerakan Pemuda Anshor tersebut juga ikut angkat senjata dengan pasukan Hizbulllah bersama Jenderal Sudirman di pertempuran Ambarawa. Negara pun memberikan Tanda Kehormatan Bintang Gerilya kepadanya.
Jabatan di lembaga Islam dan pendidikan hingga jurnalis membuat namanya semakin dikenal orang. Puncaknya, Bung Karno memintanya menjadi Menteri Agama menggantikan KH Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
"Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama," ujar Bung Karno ketika itu.
Di jabatan strategis ini dirinya diuji, suatu kali adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) dari Departemen Agama. Meski sebenarnya lazim menghajikan orang yang potensial apalagi pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan adiknya.
"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.
Tak hanya itu, selepas menjadi Menteri, Saifuddin tetapa berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang halal dan bersahaja. Dikutip dari buku "Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU" karangan Saifullah Ma'shum, jika banyak mantan menteri bergelut dalam bisnis yang prestise, justru Saifuddin memilih menjalani profesi sebagai pedagang beras di Glodok.
Sehabis shalat Dhuha, tanpa pengetahuan keluarganya, Saifuddin ke pasar Glodok berdagang beras. Selepas Zuhur, baru dirinya pulang. Kebiasaan menghilang ini dicurigai anak-anak Saifuddin. Sampai akhirnya salah satu anaknya mengelus dada karena ayahnya ketahuan berdagang beras di Pasar Glodok.
Sederet pejabat justru berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa. Salah satunya KH Saifuddin Zuhri yang dikenal sebagai pejuang, pemuka agama sekaligus pendidik terkemuka.
Sejak kecil Saifuddin telah diajarkan hidup bersahaja dalam kesederhanaan. Bagaimana tidak, ibunya hanya seorang perajin batik sedang bapaknya seorang petani. Padahal kedua orang tuanya, Muhammad Zuhri dan Siti Saudatun, adalah anak dari pemuka agama yang terkenal di Banyumas, Jawa Tengah.
Latar belakang kedua orang tuanya juga membuat Saifuddin banyak menerima ilmu agama. Sejak kecil dirinya sudah disuapi pendidikan agama hingga besar. Hingga kemudian di umurnya yang ke-17 tahun, Saifuddin meninggalkan Banyumas dan hijrah ke Solo.
Di Solo dirinya sempat berpindah-pindah sekolah karena mulai aktif di dunia jurnalistik. Dari pengalamannya menulis ini, berbagai artikel, berita dan buku sudah dia terbitkan. Bukan hanya aktif menulis, pemuda dari Gerakan Pemuda Anshor tersebut juga ikut angkat senjata dengan pasukan Hizbulllah bersama Jenderal Sudirman di pertempuran Ambarawa. Negara pun memberikan Tanda Kehormatan Bintang Gerilya kepadanya.
Jabatan di lembaga Islam dan pendidikan hingga jurnalis membuat namanya semakin dikenal orang. Puncaknya, Bung Karno memintanya menjadi Menteri Agama menggantikan KH Wahib Wahab yang mengundurkan diri.
"Penunjukan Saudara sudah saya pikir masak-masak. Telah cukup lama saya pertimbangkan. Sudah lama saya ikuti sepak terjang Saudara sebagai wartawan, politisi, dan pejuang. Saya dekatkan Saudara menjadi anggota DPA. Saya bertambah simpati. Baru-baru ini Saudara saya ajak keliling dunia, dari Jakarta ke Beograd, Washington, lalu Tokyo. Saya semakin mantap memilih Saudara sebagai Menteri Agama," ujar Bung Karno ketika itu.
Di jabatan strategis ini dirinya diuji, suatu kali adik iparnya, Mohammad Zainuddin Dahlan menghadap dan memohon untuk dihajikan dengan biaya dinas (abidin) dari Departemen Agama. Meski sebenarnya lazim menghajikan orang yang potensial apalagi pejuang kemerdekaan, namun Saifuddin menolak permintaan adiknya.
"Sebagai orang yang berjasa dan mengingat kondisi perekonomianmu belum memungkinkan, sudah layak jika Departemen Agama menghajikan. Apalagi kamu pernah berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi ada satu hal yang menyebabkan saya tidak mungkin membantu melalui haji departemen. Karena kamu adikku. Coba kamu orang lain, sudah lama aku hajikan," ujar KH Saifuddin Zuhri kepada iparnya.
Tak hanya itu, selepas menjadi Menteri, Saifuddin tetapa berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang halal dan bersahaja. Dikutip dari buku "Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU" karangan Saifullah Ma'shum, jika banyak mantan menteri bergelut dalam bisnis yang prestise, justru Saifuddin memilih menjalani profesi sebagai pedagang beras di Glodok.
Sehabis shalat Dhuha, tanpa pengetahuan keluarganya, Saifuddin ke pasar Glodok berdagang beras. Selepas Zuhur, baru dirinya pulang. Kebiasaan menghilang ini dicurigai anak-anak Saifuddin. Sampai akhirnya salah satu anaknya mengelus dada karena ayahnya ketahuan berdagang beras di Pasar Glodok.